Juvenal Deliquency, Akibat Dari Kontrol Masyarakat Yang Lemah

Belakangan ini banyak terdengar berita penyebaran video-video kekerasan yang pelaku utamanya adalah remaja. Dunia kekerasan seolah-olah menjadi suatu kewajaran dalam pergaulan remaja. Bagaimanapun, remaja yang melakukan dan mengalami kekerasan adalah bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat juga berkaitan dengan perilaku menyimpang ini.
Kasus kekerasan yang populer dilakukan
oleh remaja antara lain tawuran antar pelajar, aksi bullying, pelecehan
seksual dan premanisme. Sedangkan kasus kenakalan remaja lainnya disumbang oleh
kasus pergaulan bebas/free sex, pencurian dan penyalahgunaan
obat-obatan. Pada tahun 2011, menurut
Komnas PA jumlah kasus kekerasan terhadap remaja meningkat 98 persen.
Pada tahun 2010 terdapat 1.234 laporan kemudian menjadi 2.386 laporan mengenai
kekerasan yang dialami remaja. Data Komnas anak untuk laporan kasus tawuran
pelajar pada tahun 2011 sebanyak 339 kasus, untuk pelecehan seksual sebanyak
1.858 kasus dan kasus pergaulan bebas yang dilakukan remaja rata-rata 63% dari
remaja putri diseluruh Indonesia telah melakukan free sex.
Kasus kekerasan pada remaha
Kekerasan yang terjadi pada remaja,
terutama yang dilakukan oleh remaja terhadap sesama rekan sebaya digolongkan
kedalam kenakalan remaja. Kenakalan remaja atau Juvenal Deliquency
adalah perilaku dan tindakan remaja yang mengarah kepada kekerasan, pelanggaran
norma-norma susila dan pengabaian sosial. Kenakalan remaja juga termasuk
kedalam bahasan perilaku menyimpang yang dipelajari di mata kuliah Sosiologi
Menyimpang.
E Sutherland menjelaskan bahwa
perilaku menyimpang merupakan proses yang dialami remaja yang dihasilkan dari
proyeksi dirinya terhadap apa yang terjadi pada masyarakat di sekitarnya.
Perilaku menyimpang dapat dipelajari secara negatif dan bukanlah sebuah warisan
genetik karena ini adalah hasil interaksinya dengan masyarakat, yang artinya
perilaku menyimpang tidak menular melalui keturunan.
Robert K Merton juga menjelaskan bahwa
perilaku menyimpang adalah hasil dari suatu kelompok atau orang-orang yang
berusaha untuk melanggar aturan-aturan yang diberlakukan didalam suatu struktur
sosial.
Sedangkan Cohen memfokuskan perhatian
terhadap remaja yang sedang mengalami proses pencarian jati diri. Remaja tidak
mendapatkan tempat di masyarakat diakibatkan oleh perbedaan dalam struktur
sosial.
Sebenarnya bahasan teori Merton dan
Cohen hampir sama, yang membedakan hanyalah Cohen mengamati lebih dari sisi
psikologis remaja dalam mengahadapi masyarakat disekitarnya. Tetapi, persamaan
pemahaman para ahli diatas adalah umumnya perilaku menyimpang yang dilakukan
remaja merupakan bentuk refleksi dari perlakuan masyarakat terhadap mereka.
Masyarakat, bagaimanapun merupakan agent
of social controlle yang bertugas memberikan pengarahan dan pengawasan
terhadap perubahan diri remaja. Jalan utama untuk memberikan pengarahan
tersebut adalah melalui pendidikan. Pendidikan sebagai proses pembelajaran bagi
remaja berperan aktif untuk membentuk kepribadian remaja. Remaja memperoleh
pendidikan melalui jalur pendidikan formal dan non-formal.
Jalur pendidikan formal antara lain
adalah sekolah-sekolah, lembaga kursus dan lembaga keterampilan. Sedangkan
lembaga pendidikan non-formal adalah keluarga, teman sebaya dan lingkunngan
sekitar yang merupakan bagian dari masyarakat yang mempengaruhi bagaimana pola
perilaku remaja terbentuk.
Keluarga sebagai agen sosialisasi
primer bertugas mengenalkan kepada remaja tentang bagaimana dan apa peran-peran
yang akan dijalankan seorang remaja di masyarakat nantinya. Remaja belajar dan
melihat pola interaksi yang ada didalam keluarganya kemudian menerapkan pola
ini didalam masyarakat dimana ia berada.
Bagaimana remaja diperlakukan di keluarganya akan menjadi refleksi
terhadap tingkah lakunya di masyarakat. Jika seorang remaja yang tumbuh didalam
lingkungan keluarga yang kerap bersinggungan dengan kasus kekerasan didalam
rumah tangga secara tidak langsung mempelajari bagaimana kekerasan dilakukan
kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan diluar keluarga. Contohnya dalam
lingkungan teman sebaya.
Lingkungan teman sepermainan yang
telah terkontaminasi oleh tindakan kekerasan yang dilakukan oleh remaja
tersebut akan menimbulkan pola perilaku menyimpang di masyarakat. Khususnya
pada masyarakat yang masih memegang norma kesusilaan yang tinggi. Disinilah
masyarakat berperan dalam mencegah dan menghambat agar kasus kekerasan tidak
menyebar luas dan menjadi suatu tradisi didalam masyarakat.
Dalam sewajarnya, perilaku menyimpang
merupakan perbuatan yang melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh
masyarakat. Tetapi apabila tindakan kekerasan yang dilakukan remaja ini terjadi
secara berulang-ulang kemudian menjadi sesuatu yang dinetralkan oleh masyarakat
tanpa adanya penolakan, secara tidak langsung kekerasan tersebut telah menjadi
suatu kewajaran. Tentunya kita tidak ingin menjadi suatu masyarakat 'bobrok'
yang membiarkan kekerasan mendarah daging didalam masyarakat kita. Terutama
apabila dilakukan oleh remaja yang merupakan calon pemeran kehidupan
bermasyarakat selanjutnya.
Semua perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja,
termasuk tindakan kekerasan, tidak semata-mata ditangani dengan memberikan
tindakan pidana berupa sanksi-sanksi hukum. Hal ini seharusnya menjadi
perhatian masyarakat yang merupakan tempat dimana remaja tinggal, karena
sebenarnya perilaku menyimpang adalah hasil miss-interaction antara
remaja dan masyarakat maka sewajarnya kita membantu remaja untuk menemukan
jalan yang benar dalam proses pencarian jati dirinya. Remaja yang sedang
'melawan arus' ini tidak bisa kita paksa untuk berubah drastis seperti apa yang
kita harapkan, tetapi kita dapat mengarahkan mereka sejak dini. Memberikan
bekal pendidikan rohani yang kuat serta penanaman nilai-nilai kasih sayan
terhadap mereka akan menumbuhkan kepribadian yang kuat sehingga gangguan yang
berasal diluar diri mereka tidak akan dengan mudah mempengaruhi mereka utuk
melakukan tindakan yang menyimpang
0 komentar: