Tentang Laki-laki dan Sajak: Soe Hoek Gie

10:08 AM LovelyBunny001 2 Comments

Saya tidak puitis, tidak romantis dan tidak dramatis. Tapi saya suka mengajukan pertanyaan-pertanyaan reflektif. Jadi, ceritanya sekarang saya sedang belajar tentang Soe Hoek Gie, bukan Kahlil Gibran seperti yang saya selalu lakukan. Dan serius, saya belum mengerti jelas. Oleh karena itu di akhir tulisan ini saya melampirkan banyak pertanyaan tentang laki-laki. Karena laki-laki adalah kesulitan terbesar yang pernah Tuhan ciptakan untuk saya. Sama rumitnya seperti Kahlil Gibran, Chairil Anwar dan Khairul Ni'am, begitu juga Dia dan Soe Hoek Gie.

Gie, (jujur saya tidak tahu cara vokalisasi nama Gie) terkenal (katanya orang-orang dan katanya buku-buku) sebagai aktivis tahun 60-an karena latar belakang pendidikannya di Perguruan Tinggi yang lumayan berpengaruh di Jakarta meskipun sebenarnya untuk fakultas dan jurusan yang ia ambil sangat jauh menyimpang dari sifatnya yang dianggap orang-orang sebagai pemuda pemberontak, pecinta kebebasan dan kritis, tapi Gie suka menulis sama halnya seperti yang saya lakukan. Hanya Gie lebih baik. Dan di tulisan ini saya tidak akan membahas panjang mengenai latar belakang kesukuan ataupun keagamaan dari seorang sosok, mari fokus saja dengan satu hal. Karena saya tidak suka membicarakan tentang hal-hal yang tidak saya pahami. Selain itu saya juga bukan seorang cendekiawan yang mahfum sosial-politik karena kenyataannya lulus perguruan tinggi pun belum, jadi saya tidak akan mengupas mengenai artikel-artikel ataupun essay Gie tentang pemerintah di jamannya. Saya hanya akan fokus pada Gie sebagai seorang laki-laki yang rumit dari pandangan seorang perempuan seperti saya dan Nurmala Kartini Panjaitan, yang kira-kira mirip dengan saya. Dan mungkin juga tidak ada yang tahu bahwa dibalik itu semua Gie tidak bisa menghadapi dan berbicara dengan seorang wanita seperti dengan lugasnya menyampaikan pandangan dan pikirannya dengan seorang koruptor licik atau pejabat tengil yang bodoh dan semena-mena dengan hajat hidup orang banyak. Sungguh saya tidak punya maksud apa-apa dibalik kalimat terakhir sebelum ini.

Jadi Gie, apa yang anda minta dari saya atas puisi dibawah?
Haruskah saya menterjemahkan pikiran anda yang nyawanya berakhir dengan tragis dibawah kaki gunung yang telah melahirkan saya? (maaf.red)


SEBUAH TANYA

“akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa pada suatu ketika yang telah lama kita ketahuiapakah kau masih berbicara selembut dahulu? memintaku minum susu dan tidur yang lelap?sambil membenarkan letak leher kemejaku”

(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendalawangi kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta?”

(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)

“manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru”

Selasa, 1 April 1969

Apakah basa-basi saya diatas cukup jelas bahwa sebenarnya sampai di paragraf inipun saya sedang mencari celah sambil memahami makna sajak yang anda tulis. Laki-laki yang menginginkan cinta seperti apa yang ia visualisasikan. Begitu seterusnya dan tidak berubah, seperti dahulu, menggebu-gebu, afektif dan selalu terlihat baru. Entah kepada seorang perempuan, atau pada sesuatu yang lainnya yang ia anggap begitu ingin selalu didekatnya. Selalu bisa memahaminya dan selalu memperhatikannnya seperti hal yang selalu ia butuhan. Laki-laki seperti Gie adalah seorang manja yang selalu ingin diberikan kasih sayang tanpa meminta, tanpa bertanya dan tanpa perdebatan. Perempuan atau apalah itu sosoknya, yang ia rasa sudah sangat intim sekali dengannya seperti nya sudah menjadi dunianya sendiri bahkan dunia sekitar bukanlah lagi dunia sekitar. Apakah Gie sedang merasakan cinta? Apakah cinta menyakitkan seperti yang ia ekspesrikan pada Ker ketika mereka berdua mendaki Ceremai? Apakah Gie tidak bisa membaca bahwa sebenarnya Ker menganggap Gie sedang patah hati karena ia salah menafsirkan raut muka Gie dan cerita-cerita suram Gie?

(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi surammeresapi belaian angin yang menjadi dingin)

(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)

Apakah Gie pernah menerabas hutan dan gunung bersama kekasihnya (bahkan saya buta kayu apakah Gie punya kekasih) sampai bisa merasakan kedekatan dengan alam dan dengan kekasihnya sama menentramkan jiwa seorang laki-laki yang terlihat seperti masa bodoh dan tidak mengurusi hal remeh-temeh tentang percintaan. Pertanyaan saya cukup retoris. Karena akhirnya saya menemukan saksi yang membatalkan kesanksian saya. Waktu menulis puisi ini, Gie pergi bersama dengan Ker, sahabat perempuannya. Bahkan hingga tujuh bulan berikutnya Gie dan Ker hidup dalam buku harian berwarna biru, didalam imaginasi Gie.

Jadi Ker, adalah seorang "perempuan pelampiasan" dari laki-laki yang ternyata cengeng seperti Gie. Mereka terikat dalam suatu hubungan pertemanan rumit meskipun hingga pada akhirnya Ker yang mencoba untuk pura-pura tetap tidak tahu bahwa Gie ingin mengajukan banyak pertanyaan pada Ker tentang perasaannya. Ker, seperti yang pernah saya baca dalam sebuah tulisan. Sepertinya adalah seorang perempuan praktis yang mengandalkan logika dan analisa, menginginkan semua perempuan inginkan, kepastian. Mungkin Gie adalah laki-laki pintar dan pemberani yang diinginkan semua perempuan tetapi ia tetap tidak bisa menyampaikan sedalam-dalamnya isi pikiran dan perasaannya kepada seorang Ker yang selalu menjadi tempat terdekat Gie dalam hubungan emosional. Meskipun Gie punya banyak teman laki-laki lainnya dan ia sangat mudah bergaul maka bisa dipastikan dengan mudah saja ia dapat menaklukan hati perempuan manapun yang ia mau. Tapi Gie tetap tidak tahu aturan dasar berhadapan dengan perempuan, dalam tipe perempuan baik-baik. Gie, perempuan tidak akan memulai dahulu. Meskipun jika ia punya perasaan denganmu dan bahkan lebih afektif dari perasaanmu, Bahkan sampai Isa dibangkitkan kembali dari tanah untuk melawan Dajjal pun, perempuan tidak akan pernah mau mengatakan isi perasaannya kepada laki-laki yang ia inginkan. Perempuan adalah pencipta pertanyaan dan ahli jawaban yang baik. Ia sangat menginginkan pertanyaan yang sudah ia tahu harus menjawab apa. Ker-pun bahkan sebenarnya bisa saja memulai dulu untuk mengajukan pertanyaan kepada Gie, Tapi tidak ada yang tahu isi pikiran Ker, isi pikiran perempuan.

Bahkan hingga hidupnya diselesaikan di puncak Mahameru, Gie mungkin memiliki penyesalan tentang cinta yang tidak sempat disampaikan. Cinta dalam bentuk apapun yang ia tafsirkan mengenai perasaannya terhadap Ker. Mungkin Gie pernah menyesal, tapi perempuan yang menunggu lebih banyak terluka dari penyesalan seorang laki-laki. Lalu, ini akhir dari tulisan saya yan akan berakhir dengan banyak pertanyaan tentang laki-laki seperti yang saya katakan diawal.

Apakah laki-laki tidak bisa saja hanya mengatakan semua hal yang jelas seperti Ya dan Tidak? Bagaimana jika ternyata didalam sebuah inception yang diciptakan seseorang benar-benar menggiring laki-laki jauh masuk terlalu dalam? Apakah laki-laki benar suka tantangan dan menginginkan kesusahan yang dapat dinikmati? Apakah laki-laki tahu bahwa tidak semua laki-laki terlihat "tidak mudah dibaca" meskipun sesusah apapun mereka berusaha menyembunyikannya? Dan apakah laki-laki tahu apa yang dimaksud dengan Gender? Bahkan yang lebih parahnya, tidak ada yang menduga bahwa saya akan bertanya seperti ini. Apakah laki-laki pernah sebegitu menangisnya seperti seorang perempuan? Maaf jika pertanyaan saya terlalu kejam, tapi dalam 24 tahun saya hidup, hanya Bapak yang pernah saya lihat menangis. Ketika saya lahir, ketika saya sakit dan ketika saya mengecewakannya. Jadi wajar jika saya bertanya seperti itu. Saya tidak ditakdirkan Tuhan untuk punya perasaan sensitif seperti perempuan pada umumnya. Jadi, mencoba memahami banyak hal-hal rumit membantu saya menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang saya buat sendiri. Karena saya belum menemukan yang bisa memberikan jawaban terakhir.



You Might Also Like

2 comments: