Teman Sebaya (peer group) Berkaitan Dengan Prestasi Belajar Anak?

5:23 PM LovelyBunny001 0 Comments

Mungkin ini menjadi pertanyaan ketika seorang anak didik yang terlihat malas belajar, tidak bersemangat datang ke sekolah, cenderung melanggar peraturan tetapi memiliki banyak teman didalam pergaulannya. Sebenarnya kedua hal tersebut memiliki keterkaitan hubungan sebab-akibat.

Kepribadian yang terbentuk didalam diri seorang individu didapatnya dari masyarakat. begitu pula yang terjadi kepada seorang anak yang menjadikan teman sebaya sebagai lembaga sosialisasi keduanya setelah keluarga. Teman sebaya atau teman sepermainan (peer group) menjadi tempat anak-anak maupun remaja menghabiskan sebagian besar waktunya, karena disinilah awal mereka mempelajari cara bersosialisasi dengan masyarakat pada tahap selanjutnya.

Anak-anak yang tidak mampu membina pertemanan yang memuaskan akan merasa terpencil dan tidak bahagia (Asher et al, 1984).
Jika mereka berada di lingkungan sekolah paradigma yang muncul adalah sekolah merupakan tempat yang tidak menyenangkan dan membuat mereka merasa tidak nyaman. Anak-anak yang tidak dapat masuk kedalam lingkungan teman sebayanya cenderung bersikap agresi, mengganggu, berusaha mencari perhatian dan melanggar aturan peraturan permainan yang ditetapkan di kelompoknya.

Anak-anak sebagai mahluk sosial dini berusaha mencari kelompok, membuat dirinya merasa nyaman dan menginginkan eksistensinya diakui oleh teman-teman seusianya. Oleh karena itu mereka akan berusaha untuk melakukan hal-hal yang menjadi kebiasaan-kebiasaan didalam kelompoknya baik menyukainya atau tidak. Hal inilah yang disebut dengan beradaptasi dengan lingkungan sosial. dengan kaitannya terhadap prestasi belajar anak, kita dapat menganalisis kualitas lingkungan teman sepermainannya terhadap prestasi belajar dan kepribadian yang tumbuh didalam diri anak tersebut.

Saya telah mengamati perilaku beberapa anak didik dari usia Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah dalam lembaga pendidikan formal dan non-formal, mendapati bahwa teori yang dikemukakan diatas adalah benar adanya dan dapat dibuktikan kebenarannya dilapangan. Dalam kasus seorang anak didik saya di lembaga pendidikan tempat mengabdi, Bryan adalah murid tingkat Sekolah Dasar. Ia adalah anak yang sangat responsif terhadap materi pelajaran yang saya berikan. Dikelas Bryan memiliki tiga teman akrab yang selalu bermain bersamanya sebelum kelas dimulai. Penulis mengamati apabila ia duduk bersama dengan teman-temanya ia menjadi kurang fokus terhadap kegiatan belajar-mengajar yang saya berikan. Beberapa saat mereka akan bersikap mengganggu ketika teman-teman yang lain berusaha memperhatikan saya. Tetapi ketika Bryan tidak mendapatkan momen bersama dengan teman-temannya tersebut didalam kelas, misalnya ketika saya memisahkan tempat duduk mereka berempat atau salah satu diantara teman-temannya sedang absen, Bryan dapat bersikap lebih tenang dan mengikuti setiap instruksi yang saya berikan dengan fokus.

Kemudian seorang anak asuh saya yang bernama Dwi yang bersekolah di tingkat Sekolah Menengah, Dwi adalah tipe anak dengan kepribadian yang mudah bergaul dan disukai teman-temannya, tidak mudah takut dan pantang menyerah serta memiliki rasa ingin tahu. Saya mengamatinya sejak di kelas pertama hingga kelas akhir. Hasil akhir akademiknya cenderung berubah di setiap semester, hal ini berkaitan dengan siapa dan bagaimana teman-teman sepermainannya pada saat itu. Inilah yang menjadi kelemahan Dwi, meskipun ia adalah anak yang mudah bergaul tetapi kepribadiannya melemah ketika ia berada ditengah-tengah kelompoknya. Kebanyakan remaja seusianya mengalami hal yang serupa, jika tidak memiliki inner personality yang kuat remaja cenderung terbawa kedalam kepribadian kelompok teman sepermainannya. Hal ini juga yang terjadi dengan Helmi, dikelas pertama Helmi tidak terlalu menonjol dalam prestasi akademiknya. Ia juga anak yang pemalu dan takut mencoba hal-hal baru yang berhubungan dengan interaksi ruang terbuka. Ketika naik ke tingkat kedua Helmi berteman dengan anak-anak yang mendapatkan ranking dikelasnya, lama kelamaan Helmi berubah menjadi anak yang lebih ceria dan humoris bersamaan dengan prestasi akademiknya yang meningkat dan keterbukaannya terhadap pergaulan dengan teman-temannya di sekolah.

Dari kasus anak-anak didik saya diatas saya menyimpulkan bahwa kondisi lingkungan teman sebaya yang kondusif mempengaruhi motivasi belajar seorang anak didik. Ia menginginkan eksistensi ditengah temanteman sepermainannya tetapi ia juga tidak dapat mengabaikan pendidikannya.

Teman sebaya (peer group) yang berkualitas mengarahkan anak-anak pada hal yang positif. pengembangan kepribadian dengan memiliki kematangan bersosialisasi dan menjadi lebih berempati terhadap lingkungannya. Didalam lingkungan yang berkualitas ini biasanya anak yang memiliki kepribadian introvert dapat menjadi lebih mingle dengan teman-teman baik didalam kelompok (inner group) atau diluar kelompok (out group) nya.

Sementara itu untuk menciptakan lingkungan teman sebaya yang berkualitas bagi anak-anak didik adalah mengawasi perkembangan prestasi belajar mereka atau mengawasi secara kepribadian yang berubah ke arah positif atau negatif ketika bersama dengan teman sebayanya.

You Might Also Like

0 komentar: